Sunday, 29 March 2015

PENGERTIAN DAN SEJARAH PENANGGALAN JAWA ISLAM

penanggalan jawa

Di Indonesia kita mengenal banyak system penanggalan, yang salahsatunya adalah model penanggalan jawa islam. Model penanggalan ini adalah perpaduan antara penanggalan “SOKO”, yang perhitungannya berdasarkan peredaran matahari mengelilingi bumi dengan penanggalan “HIJRIYAH” yang perhitungannya berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi.
Penanggalan soko merupakan penanggalan hindu, sedangkan permulaan tahunnya ialah pada hari sabtu, 14 maret 78 M, yakni satu tahun setelah dinobatkannya prabu syaliwahono (Aji Soko) sebagai raja di india. Oleh karenanya penanggalan ini lebih dikenal dengan penanggalan soko.
Penanggalan jawa islam ini bermula pada tahun 1633M yang bertepatan dengan 1043 H atau 1555 Soko. Pencetus penanggalan jawa ini adalah Sri Sultan Muhammad yang terkenal dengan nama Sultan Agung Anyokrokusumo yang bertahta di kerajaan islam mataram. Sri Sultan menggabungkan dua system penanggalan, yaitu tahunnya meneruskan tahun penanggalan soko (tahun 1555), sedangkan sistemnya menggunakan system penanggalan Hijriyah yang berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi. Oleh karenanya penanggalan ini dikenal dengan penanggalan jawa islam.
Dalam satu tahun penanggalan jawa islam terdapat 12 bulan, yakni: Suro, Sapar, Mulud, Bakdo Mulud, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rejeb, Ruwah, Poso, sawal, Dulkagidah (selo), dan Besar. Nama-nama bulan dalam penanggalan jawa menyerap dari nama-nama bulan penanggalan Hijriyah. Bulan-bulan ganjil berumur 30 hari sedangkan bulan genap 29 hari kecuali bulan ke 12 (besar) berumur 30 hari pada tahun panjang.
Dalam perhitungan penanggalan jawa ini terdapat beberapa perbedaan dengan penanggalan hijriyah, walaupun keduanya sama-sama menggunakan perhitungan peredaran bulan mengelilingi bumi. Dalam penanggalan jawa satu tahun berumur 354,375 hari (354 3/8 hari), sehingga siklus pada penanggalan jawa ini selam 8 tahun (1 windu). Dalam satu windu terdapat 3 tahun panjang (kabisat) yang jatuh pada tahun ke 2, 5 dan 8, pada tahun-tahun tersebut umurnya adalah 355 hari.
Tahun-tahun dalam satu windu (8 tahun) memiliki nama masing-masing menggunakan nama angka huruf jumali, dan nama-nama tahun tersebut juga bersangkutan dengan hari dan pasaran tanggal 1 syuro tahun alifnya.
Menurut system ini dalam satu tahun berumur 354,375 hari, maka dalam waktu 120 tahun akan terjadi selisih satu tahun kabisat dari tahun hijriyah. Oleh karena itu setiap 120 tahun ada pengurangan 1 tahun yang semestinya sebagai tahun kabisat menjadi tahun bashitoh. Oleh karenanya setiap 120 tahun juga terjadi perubahan nama satu tahun alif . Pada tahun 1555 J – 1626 J tahun alifnya adalah ajumgi (tahun alif jumat legi) karena tanggal 1 syuro tahun alif jatuh pada hari jumat legi, kemudian sejak tahun 1627 J- 1746 J tahun alifnya adalah amiswon (tahun alif kamis kliwon), tahun 1747 J- 1866 J tahun aboge (tahun alif rebo wage), tahun 1867 J- 1986 J tahun asapon (tahun alif selasa pon). Demikian pada tahun 1987 J – 2106 J adalah tahun anenhing (tahun alif senin phaing).
Demikian sedikit pengetahuan tentang penanggalan jawa islam, untuk cara dan contoh perhitungannya akan kami posting hari yang akan datang J

Sunday, 22 March 2015

Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Ilmu Akhlak

    Menurut Emil Bother, Socrates mengatakan bahwa ilmu akhlak itu memiliki asas yang berbeda dengan tradisi-tradisi keagamaan. Ilmu akhlak sendiri tumbuh dan berkembang setelah dibawakan oleh bangsa yang pertama kali melakukan praktek penelitian dan yang mengetahui ilmu akhlak yaitu bangsa Yunani.
    Bangsa ini menyatakan bahwa masalah akhlak adalah sesuatu yang fitri, yang akan ada dengan adanya manusia sendiri dan hasil yang didapatnya adalah ilmu akhlak yang berdasar pada logika tanpa adanya aspek agama dalam pemikiran tersebut. Sehingga dihasil yang dicapai tidak dapat maksimal. Namun hasil pemikiran tersebut tidak sepenuhnya salah, karena manusia secara fitrah telah dibekali dengan potensi bertuhan, beragama dan cenderung kepada kebaikan, disamping itu juga memiliki kecenderungan kepada keburukan, dan ingkar pada Tuhan. Namun kecenderungan kepada yang baik, bertuhan dan beragama jauh lebih besar dibandingkan dengan kecenderungan kepada buruk.
    Filosof Yunani yang pertama kali mengemukakan pemikiran di bidang akhlak adalah Socrates (469-399 SM). Selain dipengaruhi kebangsaan Yunani, ilmu akhlak juga tumbuh dan berkembang karena faktor religi yang dibawakan oleh para Nabi dan Rasul serta difirmankan dalam Al Qur’an.
    Sehingga dapat disimpulkan dari pertumbuhan dan perkembangan ilmu akhlak sejak awal hingga saat ini yakni dipengaruhi oleh dasar-dasarnya, kalau pertama muncul ilmu akhlak hanya didasarkan pada pemikiran-pemikiran saja dan kemudian berkembang dengan didasarkan pada Al Qur’an dan Hadist.
Keadaan Ilmu Akhlak di luar Islam
    Ilmu akhlak di luar islam adalah pengetahuan-pengetahuan tentang akhlak yang tidak didasarkan pada al qur’an dan hadist.
Adapun akhlak-akhlak di luar islam sebagai berikut:
1.     Akhlak pada Bangsa Yunani
    Pertumbuhan dan Perkembangan akhlak pada bangsa Yunani terjadi setelah munculnya shopisticians atau orang-orang yang bijaksana ( 400-500 SM ) sedangkan sebelumnya, mereka hanya terfokus pada penyelidikan tentang alam.
    Dasar pemikir Yunani dalam mengkaji ilmu akhlak menggunakan pemikiran filsafat tentang manusia yang menunjukkan ilmu akhlak mereka lebih bersifat filosofis ( bertumpu pada kajian potensi kejiwaan yang terdapat dalam diri manusia). Filosof Yunani yang pertama kali membawakan ilmu akhlak yakni Socrates, setelah itu muncul filosof-filosof dari golongan pengikutnya seperti, Cynics dan Cyrenics yang menurut pandangannya ilmu akhlak itu terlihat dari bagaimana seseorang menanggapi kemewaha dunia, selain itu ada pula Plato, Aristoteles, Stoics, dan Epicurius.
     Pikiran dan pendapat para ilmuan berbeda-beda, namun tujuan mereka adalah satu yaitu menyiapkan angkatan muda bangsa Yunani agar menjadi nasionalis yang baik lagi merdeka, mengetahui kewajiban mereka terhadap tanah airnya.

2.     Akhlak Agama Nasrani
    Pada akhir abad ketiga masehi, tersiarlah agama nasrani di Eropa. Agama nasrani mampu mengubah pikiran manusia dan membawa pokok-pokok ajaran akhlak dalam Taurat dan Injil. Menurut agama ini, Tuhan  adalah sumber akhlak. Ajaran akhlak pada agama nasrani bersifat Teo-centris ( memusat pada Tuhan ), dan Sufistik ( bercorak batin ). Sehingga ilmu akhlak yang berkembang di agama Nasrani yang dibawakan para pendeta lebih berpedoman pada Taurat ataupun Injil.
3.     Akhlak Bangsa Romawi
     Pada abad pertengahan, gereja memerangi filsafat Yunani dan Nasrani, serta menentang penyiaran ilmu dan kebudayaan kuno. Gereja berkeyakinan bahwa kenyataan “ hakikat” telah diterima dari wahyu, apa yang diperintahkan dari wahyu tentu benar,maka tidak ada artinya lagi menyelidiki tentang kenyataan ( hakikat ) itu. Corak ajaran akhlak yang digunakan adalah perpaduan antara filsafat Yunani dan ajaran agama Nasrani.
4.     Akhlak Bangsa Arab
    Pada zaman Jahiliyah, Bangsa Arab tidak mempunyai ahli-ahli filsafat tetapi mereka mempunyai ahli syi’ir dan ahli hikmah yang mana setiap syi’ir mereka selalu menyinggung tentang apa kebaikan dan keburukan akhlak, dan berkat akhlaqul karimah yang diajarkan islam pula, bangsa Arab menjadi maju dan unggul di segala bidang.
5.     Akhlak Agama Hindu
    Akhlak Hindu berdasarkan kitab weda ( 1500 SM ), yang berisi dasar-dasar ketuhanan serta mengajarkan prinsip-prinsip akhlak Hindu yang wajib dipegang teguh oleh pengikut-pengikutnya.
    Akhlak mereka sandarkan kepada ajaran ketuhanan yang mereka anut sesuai dengan kitab Weda tersebut.
Tanda-tanda yang dipandang baik dalam akhlak agama Hindu:
a.     Kemerdekaan
b.     Kesehatan
c.      Kekayaan
d.     Kebahagiaan

6.     Akhlak Agama Budha
Tokoh ajaran Budha adalah Sidarta Gautama
Pokok-pokok dalam ajaran Budha:
a.     Sengsara, sakit sebagai keadaan yang lazim dalam alam ini
b.     Kembali ke dalam dunia ( reinkarnasi ) disebabkan kotornya roh dengan nafsu  syahwat terdahulu
c.      Untuk menyelamatkan diri dalam usaha pencapaian nirwana, maka hendaklah melepaskan diri dari segala pengaruh syahwat
d.     Wajib menjauhkan segala rintangan yang menghalangi seseorang dalam melepaskan nafsu syahwatnya.
Keadaan Ilmu Akhlak di Zaman Islam
    Akhlak dalam ajaran islam berdasarkan al qur’an dan hadist. Ilmunya disebut ilmu akhlak yaitu suatu pengetahuan yang mempelajari akhlak manusia yang berdasarkan pada al qur’an dan hadist. Ajaran akhlak islam mengalami titik sempurna, dengan titik pangkal pada Tuhan dan akal manusia. Hal tersebut terbukti dengan bermunculnya tokoh-tokoh ahli pikir islam terkemuka, yakni Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub( Ibnu Maskawaih 170-240 H ) yang mana pemikirannya dituangkan dalam bukunya Tahdzibul Akhlaq,  Ikhwanusshafa ( 922-1012 M ), Zaid bin Rifa’ah, Imam Al- Ghazali (1058-1111 M ) dan bukunya “Ihya Ulumuddin”, dan lain-lain.
    Sehingga dapat disimpulkan ilmu akhlak yang ada pada zaman Islam sangat mengokohkan pedomannya pada Al Qur’an dan Hadist, untuk itu akhlak juga dapat dikatakan sebagai bagian dari syari’at Islam.
Keadaan Ilmu Akhlak di Zaman Baru
    Pada abad pertengahan ke-15 mulailah ahli-ahli ilmu pengetahuan menghidupsuburkan filsafat Yunani kuno di seluruh Eropa. Ahli filsafat Prancis yaitu Descrates termasuk pendiri filsafat baru dalam ilmu pengetahuan dan filsafat, ia telah menciptakan dasar-dasar baru diantaranya adalah:
1.     Tidak menerima sesuatu yang belum diperiksa oleh akal dan nyata adanya
2.     Di dalam penyelidikan harus dimulai dari yang sekecil-kecilnya, yang semudah-mudahnya, yang lebih banyak susunannya dan lebih dekat pengertiannya sehingga tercapai tujuan
3.     Wajib menetapkan suatu hukum dan kebenaran, sehingga dapat dibuktikan kebenarannya.
Dari zaman ke zaman akhlak manusia mengalami berbagai perubahan, ada yang bertambah baik, adapula yang bertambah buruk. Semua itu karena keadaan yang dialaminya.
Berikut faktor-faktor perubahan akhlak manusia dari zaman ke zaman:
1)    Pemerintahannya
2)    Agama dan keyakinannya
3)    Ilmunya
4)    Kebudayaannya
5)    Negaranya
6)    Tempat tinggalnya
7)    Harta bendanya
8)    Keluarganya
9)    Kedudukannya
10)                        Keberaniannya.
            SELANJUTNYA>>>

Saturday, 21 March 2015

PEMBAHASAN DAN KAJIAN HADITS TENTANG SHOLAT


astronom jawa

PENGERTIAN SHALAT
Menurut mayoritas ahli bahasa,shalat artinya doa, sebagaimana dikatakan:
صليت عليه أي دعوت له
 Saya shalat atasnya: Artinya saya berdoa untuknya.
Pengertian shalat yang berarti berdoa ini tercantum dalam Al-Qur’an dan hadis. Dalam firman Allah disebutkan:
وصل عليهم إن صلا تك سكن لهم والله سميع عليم
“Dan doakanlah mereka, sesungguhnya doamu menentramkan mereka. Dan Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. Surat At-Taubah: 103
Dalam sabda Rasulullah disebutkan:
إذا دعى أحدكم فليجب فإن كان صائمافليصل وإن كان مفطرا فليطعم
Apabila seorang diantara kamu diundang, hendaklah ia datang, jika ia sedang shaum, doakanlah,dan jika tidak shaum, hendaklah ia makan.
Adapun shalat menurut syara’ adalah:
عبادة تتضمن أقوال وأفعالا مخصوصة مفتتحة بتكبير الله تعلى مفتتمة بتسليم
Ibadah yang mengandung ucapan-ucapan dan amalan-amalan yang khusus, dimulai dengan mengagungkan Allah (takbir), diakhiri dengan salam.[1]
SEJARAH SHALAT
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ حَدَّثَنَا ثَابِتٌ الْبُنَانِيُّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أُتِيتُ بِالْبُرَاقِ وَهُوَ دَابَّةٌ أَبْيَضُ طَوِيلٌ فَوْقَ الْحِمَارِ وَدُونَ الْبَغْلِ يَضَعُ حَافِرَهُ عِنْدَ مُنْتَهَى طَرْفِهِ قَالَ فَرَكِبْتُهُ حَتَّى أَتَيْتُ بَيْتَ الْمَقْدِسِ قَالَ فَرَبَطْتُهُ بِالْحَلْقَةِ الَّتِي يَرْبِطُ بِهِ الْأَنْبِيَاءُ قَالَ ثُمَّ دَخَلْتُ الْمَسْجِدَ فَصَلَّيْتُ فِيهِ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ خَرَجْتُ فَجَاءَنِي جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام بِإِنَاءٍ مِنْ خَمْرٍ وَإِنَاءٍ مِنْ لَبَنٍ فَاخْتَرْتُ اللَّبَنَ فَقَالَ جِبْرِيلُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اخْتَرْتَ الْفِطْرَةَ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ فَقِيلَ مَنْ أَنْتَ قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِآدَمَ فَرَحَّبَ بِي وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الثَّانِيَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام فَقِيلَ مَنْ أَنْتَ قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِابْنَيْ الْخَالَةِ عِيسَى ابْنِ مَرْيَمَ وَيَحْيَى بْنِ زَكَرِيَّاءَ صَلَوَاتُ اللَّهِ عَلَيْهِمَا فَرَحَّبَا وَدَعَوَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ بِي إِلَى السَّمَاءِ الثَّالِثَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ فَقِيلَ مَنْ أَنْتَ قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِيُوسُفَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا هُوَ قَدْ أُعْطِيَ شَطْرَ الْحُسْنِ فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الرَّابِعَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قَالَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِإِدْرِيسَ فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
{ وَرَفَعْنَاهُ مَكَانًا عَلِيًّا }
ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ الْخَامِسَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِهَارُونَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ بِنَا إِلَى السَّمَاءِ السَّادِسَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَام قِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِمُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَحَّبَ وَدَعَا لِي بِخَيْرٍ ثُمَّ عَرَجَ إِلَى السَّمَاءِ السَّابِعَةِ فَاسْتَفْتَحَ جِبْرِيلُ فَقِيلَ مَنْ هَذَا قَالَ جِبْرِيلُ قِيلَ وَمَنْ مَعَكَ قَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِيلَ وَقَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ قَالَ قَدْ بُعِثَ إِلَيْهِ فَفُتِحَ لَنَا فَإِذَا أَنَا بِإِبْرَاهِيمَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُسْنِدًا ظَهْرَهُ إِلَى الْبَيْتِ الْمَعْمُورِ وَإِذَا هُوَ يَدْخُلُهُ كُلَّ يَوْمٍ سَبْعُونَ أَلْفَ مَلَكٍ لَا يَعُودُونَ إِلَيْهِ ثُمَّ ذَهَبَ بِي إِلَى السِّدْرَةِ الْمُنْتَهَى وَإِذَا وَرَقُهَا كَآذَانِ الْفِيَلَةِ وَإِذَا ثَمَرُهَا كَالْقِلَالِ قَالَ فَلَمَّا غَشِيَهَا مِنْ أَمْرِ اللَّهِ مَا غَشِيَ تَغَيَّرَتْ فَمَا أَحَدٌ مِنْ خَلْقِ اللَّهِ يَسْتَطِيعُ أَنْ يَنْعَتَهَا مِنْ حُسْنِهَا فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيَّ مَا أَوْحَى فَفَرَضَ عَلَيَّ خَمْسِينَ صَلَاةً فِي كُلِّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ فَنَزَلْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا فَرَضَ رَبُّكَ عَلَى أُمَّتِكَ قُلْتُ خَمْسِينَ صَلَاةً قَالَ ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ فَإِنَّ أُمَّتَكَ لَا يُطِيقُونَ ذَلِكَ فَإِنِّي قَدْ بَلَوْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَخَبَرْتُهُمْ قَالَ فَرَجَعْتُ إِلَى رَبِّي فَقُلْتُ يَا رَبِّ خَفِّفْ عَلَى أُمَّتِي فَحَطَّ عَنِّي خَمْسًا فَرَجَعْتُ إِلَى مُوسَى فَقُلْتُ حَطَّ عَنِّي خَمْسًا قَالَ إِنَّ أُمَّتَكَ لَا يُطِيقُونَ ذَلِكَ فَارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ قَالَ فَلَمْ أَزَلْ أَرْجِعُ بَيْنَ رَبِّي تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَبَيْنَ مُوسَى عَلَيْهِ السَّلَام حَتَّى قَالَ يَا مُحَمَّدُ إِنَّهُنَّ خَمْسُ صَلَوَاتٍ كُلَّ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لِكُلِّ صَلَاةٍ عَشْرٌ فَذَلِكَ خَمْسُونَ صَلَاةً وَمَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا كُتِبَتْ لَهُ حَسَنَةً فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ لَهُ عَشْرًا وَمَنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَلَمْ يَعْمَلْهَا لَمْ تُكْتَبْ شَيْئًا فَإِنْ عَمِلَهَا كُتِبَتْ سَيِّئَةً وَاحِدَةً قَالَ فَنَزَلْتُ حَتَّى انْتَهَيْتُ إِلَى مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخْبَرْتُهُ فَقَالَ ارْجِعْ إِلَى رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ التَّخْفِيفَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ قَدْ رَجَعْتُ إِلَى رَبِّي حَتَّى اسْتَحْيَيْتُ مِنْهُ
Telah menceritakan kepada kami Syaiban bin Farrukh telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah telah menceritakan kepada kami Tsabit al-Bunani dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Aku telah didatangi Buraq. Yaitu seekor binatang yang berwarna putih, lebih besar dari keledai tetapi lebih kecil dari bighal. Ia merendahkan tubuhnya sehingga perut buraq tersebut mencapai ujungnya." Beliau bersabda lagi: "Maka aku segera menungganginya sehingga sampai ke Baitul Maqdis." Beliau bersabda lagi: "Kemudian aku mengikatnya pada tiang masjid sebagaimana yang biasa dilakukan oleh para Nabi. Sejurus kemudian aku masuk ke dalam masjid dan mendirikan shalat sebanyak dua rakaat. Setelah selesai aku terus keluar, tiba-tiba aku didatangi oleh Jibril dengan membawa semangkuk arak dan semangkuk susu. Dan aku pun memilih susu. Lalu Jibril berkata, 'Kamu telah memilih fitrah'. Lalu Jibril membawaku naik ke langit. Ketika Jibril meminta agar dibukakan pintu, maka ditanyakan, 'Siapakah kamu? ' Jibril menjawab, 'Jibril'. Ditanyakan lagi, 'Siapa yang bersamamu? ' Jibril menjawab, 'Muhammad.' Jibril ditanya lagi, 'Apakah dia telah diutus? ' Jibril menjawab, 'Ya, dia telah diutus.' Maka dibukalah pintu untuk kami. Tiba-tiba aku bertemu dengan Nabi Adam, dia menyambutku serta mendoakanku dengan kebaikan. Lalu aku dibawa naik ke langit kedua. Jibril lalu minta supaya dibukakan pintu. Lalu ditanyakan lagi, 'Siapakah kamu? ' Jibril menjawab, 'Jibril'. Jibril ditanya lagi, 'Siapa yang bersamamu? ' Jibril menjawab, 'Muhammad.' Jibril ditanya lagi, 'Apakah dia telah diutuskan? ' Jibril menjawab, 'Ya, dia telah diutuskan'. Pintu pun dibukakan kepada kami. Tiba-tiba aku bertemu dengan Isa bin Maryam dan Yahya bin Zakaria, mereka berdua menyambutku dan mendoakan aku dengan kebaikan. Aku dibawa lagi naik langit ketiga. Jibril pun meminta supaya dibukakan pintu. Lalu ditanyakan, 'Siapakah kamu? ' Jibril menjawab, 'Jibril'. Jibril ditanya lagi, 'Siapakah bersamamu? ' Jibril menjawab, 'Muhammad'. Jibril ditanya lagi, 'Apakah dia telah diutuskan? ' Jibril menjawab, 'Ya, dia telah diutuskan'. Pintu pun dibukakan kepada kami. Tiba-tiba aku bertemu dengan Nabi Yusuf Alaihis Salam, ternyata dia telah dikaruniakan dengan kedudukan yang sangat tinggi. Dia terus menyambut aku dan mendoakan aku dengan kebaikan. Aku dibawa lagi naik ke langit keempat. Jibril pun meminta supaya dibukakan pintu. Kedengaran suara bertanya lagi, 'Siapakah kamu? ' Jibril menjawab, 'Jibril'. Jibril ditanya lagi, 'Siapakah bersamamu? ' Jibril menjawab, 'Muhammad'. Jibril ditanya lagi, 'Apakah dia telah diutuskan? ' Jibril menjawab, 'Ya, dia telah diutuskan'. Pintu pun dibukakan kepada kami. Tiba-tiba aku bertemu dengan Nabi Idris Alaihis Salam, dia terus menyambutku dan mendoakan aku dengan kebaikan. Allah berfirman: '(Dan kami telah menganggkat ke tempat yang tinggi darjatnya) '. Aku dibawa lagi naik ke langit kelima. Jibril lalu meminta supaya dibukakan pintu. Kedengaran suara bertanya lagi, 'Siapakah kamu? ' Jibril menjawab, 'Jibril'. Jibril ditanya lagi, 'Siapakah bersamamu? ' Jibril menjawab, 'Muhammad'. Jibril ditanya lagi, 'Apakah dia telah diutuskan? ' Jibril menjawab, 'Ya, dia telah diutuskan'. Pintu pun dibukakan kepada kami. Tiba-tiba aku bertemu dengan Nabi Harun Alaihissalam, dia terus menyambutku dan mendoakan aku dengan kebaikan. Aku dibawa lagi naik ke langit keenam. Jibril lalu meminta supaya dibukakan pintu. Kedengaran suara bertanya lagi, 'Siapakah kamu? ' Jibril menjawab, 'Jibril'. Jibril ditanya lagi, 'Siapakah bersamamu? ' Jibril menjawab, 'Muhammad'. Jibril ditanya lagi, 'Apakah dia telah diutuskan? ' Jibril menjawab, 'Ya, dia telah diutuskan'. Pintu pun dibukakan kepada kami. Tiba-tiba aku bertemu dengan Nabi Musa, dia terus menyambutku dan mendoakan aku dengan kebaikan. Aku dibawa lagi naik ke langit ketujuh. Jibril meminta supaya dibukakan. Kedengaran suara bertanya lagi, 'Siapakah kamu? ' Jibril menjawabnya, 'Jibril'. Jibril ditanya lagi, 'Siapakah bersamamu? ' Jibril menjawab, 'Muhammad'. Jibril ditanya lagi, 'Apakah dia telah diutuskan? ' Jibril menjawab, 'Ya, dia telah diutuskan'. Pintu pun dibukakan kepada kami. Tiba-tiba aku bertemu dengan Nabi Ibrahim Alaihissalam, dia sedang berada dalam keadaan menyandar di Baitul Makmur. Keluasannya setiap hari bisa memasukkan tujuh puluh ribu malaikat. Setelah keluar, mereka tidak kembali lagi kepadanya (Baitul Makmur). Kemudian aku dibawa ke Sidratul Muntaha. Daun-daunnya besar seperti telinga gajah dan ternyata buahnya sebesar tempayan." Beliau bersabda: "Ketika beliau menaikinya dengan perintah Allah, maka sidrah muntaha berubah. Tidak seorang pun dari makhluk Allah yang mampu menggambarkan keindahannya karena indahnya. Lalu Allah memberikan wahyu kepada beliau dengan mewajibkan shalat lima puluh waktu sehari semalam. Lalu aku turun dan bertemu Nabi Musa Alaihissalam, dia bertanya, 'Apakah yang telah difardukan oleh Tuhanmu kepada umatmu? ' Beliau bersabda: "Shalat lima puluh waktu'. Nabi Musa berkata, 'Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan karena umatmu tidak akan mampu melaksanakannya. Aku pernah mencoba Bani Israel dan menguji mereka'. Beliau bersabda: "Aku kembali kepada Tuhan seraya berkata, 'Wahai Tuhanku, berilah keringanan kepada umatku'. Lalu Allah subhanahu wata'ala. mengurangkan lima waktu shalat dari beliau'. Lalu aku kembali kepada Nabi Musa dan berkata, 'Allah telah mengurangkan lima waktu shalat dariku'. Nabi Musa berkata, 'Umatmu tidak akan mampu melaksanakannya. Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan lagi'. Beliau bersabda: "Aku masih saja bolak-balik antara Tuhanku dan Nabi Musa, sehingga Allah berfirman: 'Wahai Muhammad! Sesungguhnya aku fardukan lima waktu sehari semalam. Setiap shalat fardu dilipatgandakan dengan sepuluh kali lipat. Maka itulah lima puluh shalat fardu. Begitu juga barangsiapa yang berniat, untuk melakukan kebaikan tetapi tidak melakukanya, niscaya akan dicatat baginya satu kebaikan. Jika dia melaksanakannya, maka dicatat sepuluh kebaikan baginya. Sebaliknya barangsiapa yang berniat ingin melakukan kejahatan, tetapi tidak melakukannya, niscaya tidak dicatat baginya sesuatu pun. Lalu jika dia mengerjakannya, maka dicatat sebagai satu kejahatan baginya'. Aku turun hingga sampai kepada Nabi Musa, lalu aku memberitahu kepadanya. Dia masih saja berkata, 'Kembalilah kepada Tuhanmu, mintalah keringanan'. Aku menjawab, “Aku telah pulang pergi kepada Tuhanku, sampai aku malu kepada-Nya”. Hadist ini ditakhrijkan oleh Muslim.[2]
SHALAT FARDHU DAN HUKUM-HUKUMNYA
A.   Hukum Difardhukannya Shalat
عن عبدالله بن عمر قال :قال رسول الله ص م " بني الاسلا م على خمس : شهادة ان لااله الا الله وأن محمدارسول الله, واقام االصلاة,وإيتاءالزكاةوحج البيت, وصوم رمضان" متفق عليه
Dari Abdullah bin Umar, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Islam terdiri atas lima rukun: mengakui tidak ada Tuhan melainkan Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; hajji ke Baitullah; dan puasa ramadhan”. (H.R. Ahmad, Bukhari dan Muslim).[3]
Hadist tersebut menyatakan bahwa islam dibangun atas  lima sendi: dua syahadat, shalat, zakat, shiyam (puasa), dan haji.[4]
وعن انس بن مالك رضى الله عنه قال : فرضت على النبي ص م الصلوات نيلة أسري به خمسين,ثم نقصت حتى جعلت خمسا, ثم نودي:يامحمد,انه لا يبدل القول لدي. وإن لك بهذه الخمس خمسين . رواه احمد والنسائ والترمذي وصححه
Dan dari Anas bin Malik, ia berkata: Diwajibkan sembahyang-sembahyang itu atas Nabi saw pada malam isra’, lima puluh kali. Kemudian dikurangi sehingga menjadi lima kali, kemudian Nabi dipanggil: Ya Muhammad, sesungguhnya tidak diganti (diubah) ketetapan itu disisi-Ku. Dan sesungguhnya lima kali ini sama dengan lima puluh kali. (H.R. Ahmad, Nasai, dan Tirmidzie. Dan Tirmidzie mengesahkannya).[5]
Hadist tersebut menurut At-Turmudzy, hadist ini shahih. Di dalam Al-Bukhary dan Muslim terdapat hadist yang semakna dengan ini dari jalan lain. Hadist ini menyatakan, bahwa shalat yang difardhukan bagi tiap mukallaf ialah shalat fardhu lima waktu. Shalat lima tersebut difardhukan pada malam Isra’ Nabi saw.[6]
وعن عا ئشة قالت : فرضت ائصلاة ركعتين,ثم ها جر ففرضت اربعا,وتر كت صلاةالسفرعلى لأول. رواه احمدوالبخاري
Dan dari ‘Aisyah, ia berkata: (pertama kali)  diwajibkan sembahyang itu dua raka’at, kemudian Nabi hijrah, lalu diwajibkan empat raka’at. Dan dibiarkan shalat safar menurut ketentuan yang pertama (yaitu: dua raka’at). (H.R. Ahmad dan Bukhari).[7]
Ahmad meriwayatkan hadist tersebut dengan memakai tambahan, kecuali Maghrib. Maghrib itu sejak mulanya difardhukan tiga raka’at. Hadist tersebut menyatakan, bahwa shalat lima hukumnya fardhu; dan menyatakan pula bahwa shalat Dzuhur, Ashar dan Isya’ difardhukan empat raka’at dalam hadhar (di kampung) dan difardhukan dua-dua raka’at dalam safar (perjalanan).[8]
وعن طلحة بن عبيدالله ان اعرابياجاء الى رسول الله ص م ثائرالرأس,فقال : يارسوالله,اخبرني ,مافرض الله على من الصلاة ؟ فقال "الصلوات الخمس, الاان تطوع شيئا " قال : اخبرنى مافرض الله على من الصيام ؟فقال "شهررمضان, الا ان تطوع شيئا " قال : اخبري ما فرض الله على من الزكاة ؟ قال : فاخبره رسول الله ص م بشرا ئع الاسلام كلها . فقال : والذى اكرمك لااطوع شيئا ولاانقص مما فرض الله على شيئا . فقال رسول الله ص م " افلح ان صدق- او- دخل الجنة ان صدق" متفق عليه
Dan dari Thalhah bin Ubaidillah, bahwa seorang Baduwi datang kepada Rasulullah saw dalam keadaan rambutnya kasut, apa yang Allah wajibkan kepadaku dari shalat? Ia menjawab: Shalat-shalat yang lima, kecuali engkau lakukannya yang sunnat. Ia bertanya Beritahukanlah kepadaku , apa yang Allah wajibkan kepadaku dari puasa? Ia menjawab: Puasa bulan Ramadhan, kecuali engkau lakukan yang sunnat. Ia bertanya: Beritahukanlah kepadaku, apa yang Allah wajibkan kepadaku dari zakat? Thalhah berkata: Lalu Rasulullah saw memberitahukan kepadanya tentang syariat-syariat islam seluruhnya. Lalu Baduwi itu berkata: Demi dzat yang memuliakan engkau, saya tidak akan menambah dan tidak akan mengurangi seikitpun dari apa-apa yang telah diwajibkan oleh Allah kepada saya. Lalu Rasulullah saw bersabda: Pasti ia akan bahagia,  apabila benar; atau  pasti ia akan masuk surge, apabila benar.” (H.R. Ahmad, Bukhari dan Muslim).[9]

Hadist tersebut menyatakan bahwa: shalat yang difardhukan lima saja dalam sehari semalam, bahwa puasa yang difardhukan adalah puasa Ramadhan saja, dan bahwa sedekah yang difardhukan hanya zakat saja.
Menurut dugaan kebanyakan ahli hadist, orang arab yang menanyakan hal ini kepada Nabi, seoran dari Najd yang bernama Dhumamah ibn Tsa’labah Al-Asadi.
Ibnu Rajab dalam Jami’ul Ulum mengatakan, “ Sensi-sendi bangunan islam ini saling terkait satu sama lainnya.” Diriwayatkan dari Nabi saw bahwa Allah tidak membenarkan kita mencukupi dengan sebagiannya saja. Maka seorang yang tidak puas umpamanya, hanya mengerjakan shalat saja, maka shalatnya tidak diterima Allah, karena lima sendi islam adalah saling mendukung dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Menurut pandangan syara’ merupakan kesatuan yang utuh.
Atha’ mengatakan, “Bangunan Islam yang didirikan atas lima sendi ini, Allah tidak menerima salah satunya, kalau tidak lengkap kelima-limanya. Sendi islam yang lima tersebut ialah:
a.     Beriman kepada Allah dan Muhammad adalah utusan-Nya, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, surge neraka, dan akan hidup sesudah mati. Semuanya ini dipandang satu.
b.     Shalat lima, merupakan tiang agama. Allah tidak menerima iman seseorang tanpa mendirikan shalat.
c.      Zakat, adalahpensuci diri dari dosa. Allah tidak menerima iman dan shalat, melainkan dengan memberikan zakat. Barang siapa yang melaksanakan tiga ini, namun di bulan ramadhan tidak berpuasa, maka Allah tidak menerima sendi-sendi yang teah dikerjakan. Barang siapa mengerjakan puasa, tetapi tidak mau berhaji setelah mampu, maka keempat ibadah lain tidak diterima Allah.
Fuqaha sepakat tentang fardhunya shalat lima waktu. Seluruh ulama islam berpendapat, shalat lima waktu diardhukan atas tiap-tiap orang yang mukallaf. Dalam hal ini fuqaha berbeda pendapat tentang wajibnya shalat selain dari shalat lima waktu. Sebagian fuqaha mengatakan, diantaranya As-Syafi’I, bahwa shalat yang difardhukan hanya shalat lima saja. Selainnya sunnat semua. Sebagian fuqaha yang lain mengatakan, bahwa selain shalat lima waktu, ada juga shalat yang diwajibkan.
Abu Hanifah mengatakan, shalat adalah wajib hukumnya. Sebagian muhaqqiqiqn mengatakan, selain shalat lima waktu, difardhukan juga shalat hari raya. Demikian pendapat Ibnu Taimiyah  dalam Ikhtiyarat.
Apabila islam kita misalkan sebagai sebuah bangunan rumah yang sempurna, maka sendi-sendi yang lima tersebut merupakan sendi-sendi yang terpokok yang menjadi dasar dan asas. Tidak kita anggap rumah islam itu sempurna tanpa salah satu asasnya.
Selanjutnya, dapat pula kita pahami dari hadist tersebut bahwa pada malam isra’, Allah memerintahkan Nabi saw mengerjakan Dzuhur, Ashar dan Isya’ sebanyak dua rakaat. Sesudah Nabi hijrah ke Madinah baru ditetapkan menjadi empat rakaat.[10]
B.   Hukum Meninggalkan Shalat
Meninggalkan shalat karena inkar atas (kewajiban melaksanakannya)  merupakan bentuk kekufuran dan mengeluarkan yang bersangkutan dari agama islam. Hal ini sesuai dengan ijma’  (kesepakatan) kaum muslimin, adapun orang yang meninggalkan shalat, sementara dia masih beriman dan meyakini kewajiban melaksanakannya, hanya saja dia malas melakukannya atau karena adanya alasan yang tidak dapat diterima oleh syara’, ada beberapa hadist yang dengan jelas menjelaskan akan kekufurannya.  Diantara hadist yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a.     Jabir berkata, Rasulullah saw bersabda:
بين الرجل وبين الكفر ترك الصلاة
“Antara seseorang dengan kekufuran adalah meninggalkan shalat”. (H.R. Ahmad, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
b.     Buraidah berkata, Rasulullah saw bersabda:
العهدالذبينناوبينهم الصلاة , فمن تركهافقدكفر
“Perjanjian (perbedaan) antara kami dan mereka adalah shalat. Maka barang siapa yang meninggalkan shalat, sungguh dia telah kafir”. (H.R.  Ahmad, Abu Daud, Tirmidzie,  Nasai dan Ibnu Majah).
Hakim berkata, ini adalah hadist yang memiliki sanad shahih. Bahkan tidak satupun ditemukan kecacatannya. Imam Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa riwayat Abdullah bin Buraidah dari ayahnya sebagai hujjah. Imam Muslim juga menyatakan Al-Husin bin Waqid bisa dijadikan sebagai hujjah. Namun Bukhari dan Muslim tidak meriwayatkannya dengan lafal hadist ini. Oleh karena itu, hadist ini mempunyai bukti dan penguat yang shahih menurut syarat  Bukhari dan Muslim.
c.      Abdullah bin Amar bin Al-Ash, dari Rasulullah saw suatu ketika, beliau menyebut tentang masalah shalat. Beliau bersabda:
من حا فظ عليها كانت له نورا وبرهاناونجاة من النار يوم القيامة ومن لم يحا فظ
“Barang siapa yang menjaga shalat maka ia akan menjadi cahaya, bukti dan penyelamat baginya dari api neraka pada hari kiamat. Dan barang siapa yang tidak menjaganya maka tidak ada baginya cahaya, keselamatan dan juga bukti. Dia nanti pada hari kiamat dikumpulkan bersama Qarun, Fir’aun, Haman dan Ubay bin Khalaf”. (H.R. Ahmad, Thabran dan Ibnu Hibban). Dia menyatakan bahwa sanad hadist ini jayyid.
Pernyataan yang menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat kelak  di alam akhirat akan dikumpulkan bersama pemimpin orang-orang kafir, menunjukkan akan kekufurnnya. Ibnu Qayyim berkata, “Orang yang tidak bisa menjaga shalat bisa jadi disebabkan kesibukannya dengan kekayaan, kerajaan, kekuasaan dan perniagaannya. Bagi orang yang sibuk dengan kekayaannya, dia kan dikumpulkan bersama Qarun. Bagi orang yang sibuk mengurusi kerajaannya, dia akan dikumpulkan bersama Fir’aun. Bagi orang yang sibuk bersama dengan urusan kekuasaan dan jabatan, dia akan dikumpulkan bersama Haman. Dan bagi orang yang disibukkan dengan urusan perniagaannya, dia akan dikumpulkan bersama Ubay bin Khalaf”.
d.     Abdullah bin Syuqaiq  Al-Uqaili berkata:
عليها لم تكن له نورا ولا نجاة ولا برهانا وكان يوم القيمة مع قارون وفرعون وهامان وأبي بن خلف

 “Para sahabat tidak ada yang memandang sesuatu yang jika ditinggalkan akan menjadikannya kafir selain meninggalkan shalat”. (H.R. Tirmidzie dan Hakim). Dia menyatakan bahwa hadist ini shahih mengikuti syarat Bukhari dan Muslim.
e.      Muhammad bi Nash Al-Mirwazi berkata, Aku mendengar Ishak berkata, benar dari Rasulullah saw, bahwa orang yang meninggalkan shalat dia adalah kafir. Begitu juga pendapat yang dikemukakan oleh para ulama yang bersandar pada sabda Rasulullah saw, bahwasanya orang yang meninggalkan shalatdengan disertai unsure kesengajaan dan tanpa adanya uzur, sampai waktu shalat habis, maka dia kafir.
f.       Ibnu Hazm berkata, ada berita yang berasal dari Umar, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah dan para sahabat yang lain, bahwasanya seseorang yang meninggalkan shalat satu fardhu dengan sengaja, sampai waktunya telah habis, maka dia telah kafir dan murtad. Dan kami tidak mendapat perbedaan diantara mereka. Pernyataan ini disebutkan oleh Al-Mundziri dalam kitab at-Targhib wa at-Tarhib. Lebih lanjut ia berkata, sebagian para sahabat dan orang yang setelahnya menyatakan kafir bagi orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja sampai waktu untuk menjalankan habis. Diantara mereka adalah Umar bi Khattab, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Muadz bi Jabal, Jbir bin Abdullah dan Dardark. Adapun selain kalangan sahabat adalah Ahmad bin Hambal, Ishak bin Ruhawiyah, Abdullah bin Mubarak, Nakhai, Hakam bin Utaibah, Abu Ayyub As-Sakhtiyani, Abu Daud At-Thayalisi, Abu Bakar bin Abu Syaibah, Zuhair bin Harb dan yang lainnya.[11]



[1] Dewan Hisbah PP Persatuan Islam, Risalah Shalat, (Bandung: Persis Press, 2011), hal. 67-68
[2] Lembaga Al-Qur’an dan Hadist, Kelengkapan Hadist Qudsi, (Semarang: CV. Toha Putra, 1982), hal. 213-221
[3] Hamidy Mu’ammal, dkk, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadist-hadist Hukum  jilid 1, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1974), hal. 265
[4] Ash-Shiddieqy Hasbi TM, Koleksi Hadist-hadist Hukum jilid 1, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), hal. 254
[5] Hamidy Mu’ammal, dkk, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadist-hadist Hukum  jilid 1, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1974), hal. 265
[6] Ash-Shiddieqy Hasbi TM, Koleksi Hadist-hadist Hukum jilid 1, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), hal. 254
[7] Hamidy Mu’ammal, dkk, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadist-hadist Hukum  jilid 1, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1974), hal. 266
[8] Ash-Shiddieqy Hasbi TM, Koleksi Hadist-hadist Hukum jilid 1, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), hal. 254
[9] Hamidy Mu’ammal, dkk, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadist-hadist Hukum  jilid 1, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1974), hal. 266
[10] Ash-Shiddieqy Hasbi TM, Koleksi Hadist-hadist Hukum jilid 1, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2002), hal. 254-256

[11] Sabiq Sayid, Fikih Sunnah, (Jakarta: Cakrawala Publising, 2008), hal. 163-165