Gerhana matahari dan rembulan merupakan hal yang biasa yang dapat
dilihat dan dijumpai, yang dapat diketahui berdasarkan ilmu tentang peredaran
matahari dan bulan, sebagaimana keduanya memiliki sebab-sebab abstrak yang
tidak terlihat mata, yang pada intinya semua ini merupakan sebab-sebab yang
dapat ditangkap indra dan abstrak yang berasal dari Illahi.[1]
Sebagaimana kita Ketahui bahwa sumber pokok hidup kita adalah Al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan shalat
gerhana matahari hanya sekali saja dikerjakan Rasulullah ketika anaknya Ibrahim
wafat. Cara pelaksanaan dua shalat ini yaitu shalat Khusuf dan kusuf di
itsbatkan oleh sunnah, bukan Al-Qur’an. Maka dasar pegangan kita dalam
menetapkan pokok hukum dan penjelasan-penjelasannya adalah sunnah semata.[2]
Shalat gerhana hanya dilakukan sekali saja oleh Rasulullah pada
wafatnya Ibrahim. Tetapi jika kita menelusurinya, banyak hadit-hadits yang
menerangkan tata cara shalat gerhana dan dalam
hadits tersebut memiliki perbedaan makna yang akan menimbulkan perbedaan
suatu hukum juga. Sebagai contoh dua
hadits yang kami ambil sebagai rujukannya. Oleh karena itu, kami akan
membahasnya di dalam bab selanjutnya.
a.
Hadits pertama
حدثنا ييحيى بن بكيرٍ حدثن الليث عن عقيل عن ابن شهاب قال اخبرني
عُروة انّ عائشة رضي الله عنها اخبرته انّ خسفتِ الشمسُ فى حياةِ رسول الله صلّى
الله عليه وسلم الى المسجدفقامَ فكبّرَ وصفَ النّاس ورأهُ فاقْترأَ قرأةً طويلةً
ثم كبّر فركع ركوعًا طويلاً هو اَدْنى من القرأةَ الأُوْلى ثم رفع رأْسهُ فقال:
سمع الله لمن حمده ربّنا ولك الحمد. ثم قام ورأهُ فاقْترأَ قرأةً طويلةً, هي اَدنى
من القرأةَ الأُوْلى, ثم كبّر فركع
ركوعًا, هو اَدْنى من الركوعِ الاَوّل. ثم قال: سمع الله لمن حمده ربّنا ولك
الحمدز ثم سجد ثم فعل فى الرّكعةِ الأُخْرَى مثل ذلك حتّى استكملَ اربعَ ركَعاتٍ
واربع سجداتٍ وانْجلتِ الشمسُ قبل ان ينصرفَ ثم قام فخطب النّاس. فأَثْنى على الله
بما هو اهلهُ. ثم قال:اِنّ الشمسَ والقمرَض آيتانِ من آيات الله عزّوجلّ
لاينخَشِقانِ لموتِ احدٍ ولا لحيتهِ, فإذا رايتموها فافْزَعوْا الى الصّلاةِ
Dimasa hidup Rasulullah terjadi gerhana beliau keluar ke masjid,
beliau berdiri bertakbir dan manusia bershaf-shaf di belakangnya. Nabi membaca
qira’ah yang panjang, kemudian beliau takbir lalu rukuk, rukuk yang panjang,
lamanya sama dengan lama bacaan pertama, kemudian beliau mengangkat kepalanya
lalu membaca: sami’allahu liman hamidah, rabbana walakal hamdu. Kemudian Nabi
berdiri terus, lalu membaca wiraah yang panjang, kurang sedikit dari bacaan
yang pertama, kemudian Nabi membaca: sami’allahu liman hamidah, rabbana walakal
hamdu. Kemudian beliau sujud. Kemudian nabi mengerjakan pada rakaat berikutnya
hingga beliau menyempurnakan empat rukuk dan empat sujud. Dan matahari terang
kembali sebelum Nabi salam. Sesudah itu, beliau berdiri, berkhutbah dihadapan
manusia. Beliau memuji Allah dengan yang layak bagi-Nya. Sesudah itu beliau
berkata: sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda dari tanda-tanda
kekuasaan Allah, dia tidak gerhana karena tidak matinya seseorang dan tidak
karena lahir seseorang. Apabila kamu melihat gerhana-gerhana itu, bersegeralah
shalat. (HR. Al-Bukhary dan Muslim)
b.
Hadits kedua
اخبرنا محمّد بن المثنّى عن معاذ بن هشام قال حدّثنى ابى عن قتادةَعن
ابى قلابه عن النُعْمان بن بشير انّ النبيّ صلّى الله عليه وسلم قال إذا خَسِفَتِ
الشمسُ والقمر فصلوْا هاَ كأَحْدثِؤ صلاةٍ صَليْتُمُوهَا
“Bersabda Nabi SAW ةaka, jika kalian melihat gerhana
matahari dan bulan shalatlah kalian sebagaimana shalat wajib yang kalian
lakukan.” (HR. Ahmad dan An-Nasa’y).
Kajian
Hadits
Hadits yang pertama
menjelaskan bahwa shalat gerhana dipanjangkan berdiri, rukuk dan sujud. Juga
menyatakan bahwa nabi SAW menyelesaikan shalatnya sesudah matahari bercahaya
kembali (berakhirnya gerhana). Hadits ini menyatakan pula bahwa kita disukai
membaca khutbah sesudah shalat gerhana. Selain itu, gerhana matahari atau
bulan, bukan karena kematian atau lahirnya seseorang. Gerhana hanyalah untuk
menunjukkan kekuasaan Allah. Hadits-hadits ini juga menyuruh kita bersegera
pergi mengikuti shalat gerhana dan berzikir apabila terjadi gerhana. Shalat
gerhana dua rakaat. Di tiap-tiap rakaat dua kali berdiri dua kali membaca
Al-Fatihah dan surat, dua kali rukuk dan dua kali sujud, seperti shalat yang
lain.
Menurut As-syafi’i dan Al-Bukhary shalat gerhana yang dikerjakan
Rasulullah adalah shalat gerhana pada hari Ibrahim Meninggal. Karena gerhana
terjadi satu kali, kita harus mengambil riwayat yang kuatyaitu riwayat Aisyah
yang menerangkan dua kali rukuk dalam satu rakaat (Aisyah turut Shalat
bersama-sama Rasul).
Hadits yang kedua, hadits
ini menyatakan, shalat gerhana sama dengan shalat fardhu yang kita kerjakan
sebelum gerhana. Kalau gerhana itu terjadi sesudah zuhur maka shalat gerhana
dikerjakan sebagai shalat zuhur yaitu empat rakaat.
Menurut pentahqiqan Tengku Muhammad Habsi Ash-shiddieqy, baik
sekali kita kerjakan shalat gerhana berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh
An-Nasa’y dan Ahmad, dari Qabisah Al-Hilaly. Mengingat, suruhan yang dihadapkan
kepada kita ummat, lebih kuat daripada perbuatan yang Nabi kerjakan itu.[3]
Menurut
pendapat kalangan Ulama:
Tiga
mazhab, yaitu Maliki, Hambali dan Syafi’i, sepakat bahwa shalat gerhana
dilakukan sebanyak dua raka’at dengan dua kali Alfatihah dan dua kali rukuk
dalam setiap raka’atnya. Sementara menurut Mazhab Hanafi, shalat gerhana ini
dilaksanakan tidak berbeda dengan shalat sunnah yang lain, yaitu satu kali
membaca Alfatihah dan satu kali rukuk dalam setiap raka’atnya.
Sementara
dari segi jumlah raka’at, Mazhab Hanafi mengatakan paling sedikit dua raka’at.
Boleh lebih dari dua raka’at, hanya yang paling utama adalah 4 raka’at
dilaksanakan dengan satu kali salam. Setelah shalat selesai, dilanjutkan
dengan khutbah.[4]
Validitas
hadits kedua diperselisihkan para imam, sebab umumnya jalur hadits ini melalui
Abu Qilabah (nama aslinya adalah Abdullah bin Zaid Al Jarmi), syeikh Syu’aib
Al-Arnauth mengatakan: Dia banyak memursalkan hadits, dan pada hadits ini tidak
ada kejelasan bahwa dia mendengar hadits tersebut dari Qabishah bin Mukhaariq.
(Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 20607. Beliau pun mengatakan: isnaduhu
dhaif - isnadnya dhaif).
Imam Al
Baihaqi juga mengisyaratkan kedhaifan riwayat ini, katanya: Hadits ini mursal,
Abu Qilabah belum pernah mendengarnya dari An Nu’man bin Basyir, sesungguhnya
dia cuma mendengar dari seorang laki-laki, dari An Nu’man. (Lihat As Sunan
Al Kubra No. 6128)
Imam
Yahya bin Al Qaththan juga menyatakan bahwa hadits ini memiliki cacat, yakni inqitha’
(terputus sanadnya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 2/215)
Imam Ibnu
Abi Hatim mengatakan: Berkata Ayahku (Imam Abu Hatim): Berkata Yahya bin Ma’in:
Abu Qilabah dari An Nu’man adalah mursal. Berkata ayahku: Abu Qilabah
telah berjumpa dengan An Nu’man bin Basyir, tapi aku tidak tahu apakah dia
mendengar darinya atau tidak. (Imam Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 2/228)
Jadi,
permasalahan yang ada pada hadits ini adalah semua jalurnya terputus sanadnya
baik Abu Qilabah kepada An Nu’man bin Basyir, atau Abu Qilabah kepada Qabishah,
atau Abdurrahman bin Abi Laila kepada Bilal, walau periwat lainnya adalah
orang-orang terpercaya, sehingga dilemahkan oleh sebagian imam ahli hadits
seperti yang kami sebutkan di atas.
Sedangkan
syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah menilai bahwa hadits
ini mudhtharib (guncang), sehingga pendapat tentang tata cara shalat
gerhana seperti shalat biasa adalah keliru. Beliau mengatakan: madzhab ini tidak
benar, karena hadits tersebut tidak shahih, karena dia hadits mudhtharib
sebagaimana penjelasan nanti, dan bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih
yang ada pada masalah ini. (Tamamul Minnah, Hal. 262).[5]
[1] Dr. Mardani, Hadits Ahkam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2012,
hlm. 126
[2] Tengku Muhammad Habsi Ash-shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits
Hukum, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011, hlm.617
[3] Tengku Muhammad Habsi Ash-shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits
Hukum, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011, hlm.618-621
No comments:
Post a Comment