Astronom Jawa-Perbedaan
adalah warna yang indah untuk menghias kehidupan ini, karena dengan adanya
perbedaan akan memperkaya pengetahuan dan pemikiran. Indonesia adalah salah
satu Negara yang memiliki berjuta-juta perbedaan, yang salah satunya adalah
perbedaan pemikiran dan pendapat dalam metode Hisab dan Rukyah untuk menentukan
awal bulan Hijriah. Oleh karenanya sering sekali terjadi perbedaan dalam
pelaksanaan Hari Raya ataupun penentuan awal Ramadhan. Dan masih banyak lagi
perbedaan-perbedaan dalam pelaksanaan hari-hari besar umat muslim lainnya,
seperti: tahun baru Hijriah, peringatan Maulid Nabi, peringatan Isro Mi’raj,
dan peringatan Nuzulul Quran. Selain kerena perbedaan metode yang digunakan,
perbedaan ini juga disebabkan karena acuan yang digunakan dalam penanggalan
Hijriah adalah gerak Bulan mengitari Bumi, dan inipun menimbulkan banyak
permasalahan.
Dalam
kesempatan kali ini kami akan memaparkan sedikit pemahaman tentang beberapa
metode Hisab Rukyah yang digunakan di Indonesia.
Apabila
kita amati dengan seksama perbedaan-perbedaan dalam penentuan awal bulan
Hijriah disebabkan oleh dua hal yang pokok:
1. Dari
segi penetapan Hukum
Dari
segi penentapan hukum, di Indonesia terdapat empat kelompok besar . kelompok pertama, adalah kelompok yang
berpegang kepada penglihatan, observasi, ataupun Rukyah. Kelompok ini tetap
menggunakan hisab sebagai persiapan untuk kesuksesan pelaksanaan Rukyah.
Landasan
hukum yang digunakan kelompok ini adalah berdasarkan Hadits Nabi yang
memerintahkan untuk berpuasa karena melihat bulan (hilal) dan berhari raya
kerena melihatnya.
Ayat-ayat
Al-Quran yang berhubungan dengan hisab menurut pandangan mereka merupaka
ayat-ayat yang mujmal dan tidak ada sangkut pautnya dengan hukum, karena hampir
semua ayat Al-Quran yang berhubungan dengan ketentuan peredaran matahari dan
bulan adalah dalam rangka penonjolan kekuasaan Allah yang terbentang di langit
dan di bumi serta seluruh isinya.
Sedangkan
hadits yang berhubungan dengan adanya perintah untuk menghitung umur bulan,
apabia bulan itu tidak dapat dilihat dianggap sebagai hadits yang mutlak yang
harus dibawakan kepada keterangan-keterangan hadits yang muqoyyad. Hadits yang
muqoyyad itu iyalah perintah untuk menyempurnakan 30 hari umur bulan sya’ban
apabila hilal tidak dapat di rukyah.
Itulah
sebab apabila kelompok ini telah melakukan rukyah akan tetapi hilal tidak dapat
dirukyah maka mereka akan menyempurnakan jumlah hari dalam bulan tersebut
menjadi 30 hari.
Kelompok kedua, kelompok
ini adalah kelompok yang memegang Ijtima’ sebagai pedoman penentuan awal bulan
Hijriah. Kelompok ini berpendirian apabila ijtima’ terjadi sebelum matahari
terbenam maka esok hari merupakan bulan baru, sedangkan apabila ijtima’ terjadi
setelah matahari terbenam maka bulan baru akan terjadi pada esok lusa.
Pendapat kelompok ini berlandaskan pada
ayat-ayat Al-Qur’an yang memaparkan bahwa Allah tellah menetapkan
manzilah-manzilah bagi peredaran matahari dan bulan yang berguna bagi manusia
untuk menghitung bilangan jumlah hari dalam satu tahun dan cara perhitungannya.
Mereka juga berpendapat bahwa hadits-hadits yang bersangkutan dengan perintah
untuk memulai puasa karena melihat bulan dan berhari raya karena melihat bulan
dianggap sebagai petunjuk Nabi yang berguna bagi umatnya dalam menentukan awal
masuknya bulan. Akan tetapi cara ini buknalah satu-satunya cara dalam
menentukan masuknya awal bulan dan bukan merupakan kepastian.
Kelompok
ini juga berpendapat bahwa apabila dengan melihat bulan merupakan syarat bagi
tiap-tiap orang untuk memulai puasa maka setiap orang diwajibkan untuk
melihatnya, akan tetapi dalam kenyataanya hanya sebagian orang yang melihat
bulan sedangkan bagian besarnya memulai puasa hanya karena mendengar berita
bahwa bulan sudah dapat dilihat.
Kelompok ketiga, kelompok
ini adalah kelompok yang memandang bahwa ufuk hakiki sebagai kriterium untuk
menentukan wujudnya hilal. Kegiatan pokok kelompok ini dalam mempersiapkan
perhitungan ialah menentukan kedudukan hakiki bulan pada saat matahari
terbenam, apabila bulan berada di atas ufuk hakiki maka bulan dihukumi wujud
(wujud Hukman), sedangkan apabila hilal berada di bawah ufuk hakiki malam itu
maka keesokan harinya dianggap sebagai akhir bulan yang sedang berjalan.
Kelompok
ini landasan hukum yang digunakan hampir sama dengan alas an yang dikemukakan
oleh kelompok yang kedua, hanya saja mereka memahami ayat-ayat Al-Quran secara
keseluruhan sehingga mereka berkesimpulan bahwa apabila kedudukan hilal sudah
diketahui dengan akal telah berada di atas ufuk hakiki, maka pengetahuan akal
tersebut tidak dapat didustakan lagi dan merupakan alas an yang kuat untuk
menentapkan awal masuknya bulan baru.
Kelompok keempat, kelompok
ini adalah kelompok yang berpegang kepada kedudukan hilal di atas ufuk mar’I
(yaitu ufuk yang dapat dilihat langsung oleh mata kepala) sebagai kriteria
dalam menentukan masuknya awal bulan baru. Apabila hilal berada di atas ufuk
mar’i pada saat matahari terbenam maka hilal
di anggap sudah wujud.
Kelompok
ini dalam melakukan perhitungan-perhitungannya melakukan banyak koreksi-koreksi
baik koreksi terhadap ufuk maupun terhadap hilal. Koreksi yang dilakukan
tehadap ufuk adalah koreksi kerendahan ufuk yang relative terhadap posisi
pengamat, juga koreksi refraksi yang berlaku bagi ufuk itu. Koreksi ini
dilakukan dengan sangat cermat dengan tujuan agar kedudukan ufuk dapat
diperhitungkan sesuai dengan penglihatan mata pengamat. Sedangkan koreksi yang
dilakukan terhadap tinggi hilal ialah semi diameter bulan, refraksi, parallax.
Dasar
yang disunakan oleh kelompok ini hampir sama dengan dasar yang digunakan kelompok
kedua dan ketiga, hanya saja kelompok ini selain memperhatikan ayat-ayat
Al-Quran secara keseluruhan, mereka juga memautkannya dengan jiwa yang
terkandung dalam hadits, yaitu kedudukan bulan ditentukannya dengan kecermatan
sedemikian rupa sesuai dengan pandangan mata pengamat.
2. Dari
segi system atau metode perhitungan
Dari
segi metodhe yang digunakan dalam perhitungan di Indonesia terdapat dua
kelompok besar.
Kelompok pertama, kelompok
ini adalah kelompok yang menggunakan metode hisab ‘Urfi, yaitu hisab yang
kegiatan perhitungannya dilaksanakan berdasarkan kaidah-kaidah tradisional,
yaitu dibuatnya anggaran-anggaran dalam menentukan perhitungan masuknya awal
bulam itu dengan anggaran yang didasarkan pada peredaran bulan.
Kelompok kedua, kelompok
yang menggunakan metode Hisab Hakiki, yaitu sisten penentuan awal bulan
qomariyah dengan cara menentukan kedudukan bulan pada saat matahari terbenam.
Cara
yang ditempuh oleh kelompok ini adalah
Ø Menentukan
terjadinya ghurub
Ø Menghitung
longitude matahari dan bulan dan data lainya dengan kordinat Ekliptika
Ø Menghitung
terjadinya Ijtima’
Ø Menghitung
jarak sudut matahari dan bulan saat matahari terbenam
Ø Menentukan
azimuth bulan
Dalam perhitungan keakuratan hasil perhitungan
dipengaruhi juga oleh data yang digunakan dalam perhitungan. Sedangkan data
yabg sering digunakan ialah data Ephemeris.
.Tulisan ini dicuplik dari buku
Almanak hisab rukyah, yang dikeluarkan oleh Departemen Agama RI, tahun1981
No comments:
Post a Comment